Hujan baru saja berhenti. Hawa dingin yang datang bersama
butir-butir hujan belum benar-benar pergi. Namun, semangat Eka Satya Prasaja
(38) dan Nina (35) sudah langsung mendidih saat berkisah tentang sang buah
hati, Aditya Bagus Arfan (9). Aditya baru akan menginjak usia 10 tahun pada 31
Oktober nanti, tetapi prestasinya di dunia catur sudah sampai ke tingkat
internasional.
Perjalanan hidup putra pertama yang jauh dari ingar-bingar
pemberitaan, seakan mendapat ruang pelampiasan ketika penulis bertandang ke
kediaman mereka di Perum Pondok Sani, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada akhir
Agustus lalu. Terlebih, Aditya baru saja pulang dari Rusia mengikuti Olimpiade
Catur U-16. Saat kedua orang tuanya merayakan lebaran di Tanah Air, Aditya
berjuang seorang diri dengan hanya ditemani ofisial dari Komite Olimpiade
Indonesia (KOI).
“Kami tidak bisa dampingi karena butuh dana sekitar Rp.50 juta
buat ongkos,” tutur Eka yang berprofesi sebagai karyawan swasta.Tekad dan
semangat Aditya akhirnya meyakinkan Eka dan sang istri untuk merelakannya
berjuang sendiri. Perjalanan jauh Aditya pun tak sia-sia. Sebagai peserta
termuda kehadirannya benar-benar mencuri perhatian.
“Sebelumnya kami berpikir bahwa perlombaan itu berdasarkan
kategori usia. Ternyata tidak. Sehingga Aditya berhadapan dengan lawan-lawan
yang rata-rata berusia 14 hingga 16 tahun,”ungkap Eka. Walau kembali tanpa gelar mengingat lawan-lawan yang dihadapi dari
kelompok usia lebih tua, Eka mengaku sang anak mendapat banyak manfaat. Selain
pengalaman dan mental bertanding, wawasan pergaulan Aditya juga semakin luas.
Tampak di jejaring sosial instagram Eka, presiden FIDE (Federasi Catur Dunia),
Kirzan Ilyumzhinov, dan presiden dari negara bagian Sakha, Mikhail Nikolaev,
tengah serius memperhatikan Aditya bertanding.
Master ASEAN
Aditya bisa melanglang buana hingga ke Eropa Timur bukan tanpa
sebab. Perjalanan ke Negeri Beruang Putih tak lepas dari prestasi yang
ditorehkan di tingkat Asia Tenggara sebulan sebelumnya. Tampil di ASEAN +Age
Chess Championships di Dusit Thani Pattaya, Thailand, Aditya sukses menyabet
medali emas di kategori U-10. Ia mengalahkan 40 peserta yang berasal dari 13
negara, termasuk China, setelah bertarung sembilan babak.
Nina yang mendampingi Aditya mengaku deg-degan melihat sang anak
berjuang babak demi babak. Pengalaman pertama bertanding di luar negeri,
ditambah lagi harus berhadapan dengan lawan-lawan dari sejumlah negara,
benar-benar menguras adrenalin wanita murah senyum itu.
Nina tahu bahwa perbedaan fisik bisa menjadi tantangan tersendiri.
Melihat lawan-lawan dengan warna kulit berbeda dan berpostur lebih besar bisa
membuat nyali Aditya ciut. Selain memberikan dukungan langsung, sebelum
bertanding Nina tak lupa berpesan agar Aditya santai dan tak terbawa suasana. “Saya
berpesan kepada dia untuk anggap pertandingan itu seperti main sama teman-teman
atau sama gurunya. Tetapi saya ingatkan untuk tidak anggap remeh karena peserta
yang datang itu bagus-bagus karena mewakili negara masing-masing,”tutur Nina.
Perjuangan Aditya selama kurang lebih sepuluh hari akhirnya
berbuah medali emas. Bocah hitam manis yang kini duduk di kelas empat SD IT Global
Insani, Bekasi itu mendulang 7.5 poin. Ia mengungguli Vo Pham Thien Phuc dari
Vietnam yang mendapat 7.0 poin serta tiga pecatur Vietnam lainnya yang berada
di lima besar. Tak hanya membawa pulang medali emas, Aditya juga berhak atas
predikat ASEAN Master dari aseanchess.org.
Melengkapi kegemilangannya di Thailand, Aditya sukses melampaui
rekor pecatur nomor satu Indonesia saat ini, GM Utut Adianto sebagai pecatur
termuda yang sukses mengalahkan Grand Master (GM). Pada hari terakhir
kejuaraan, dalam tajuk simultan catur, Aditya membungkam GM Eugene Torre yang
merupakan Grand Master pertama ASEAN. Aditya adalah satu-satunya dari 30
peserta yang menumbangkan GM asal Filipina itu.
“Menurut informasi dari Kepala Bidang Bina Prestasi PB Percasi,
Kristianus Liem saat itu Utut mengalahkan Grand Master pada usia 13 tahun
sementara Aditya saat berusia 9 tahun,”terang Eka.
Eka pernah berusaha mencatatkan rekor sang anak ke Museum Rekor
Indonesia (MURI). Proses sudah lewat separuh jalan, namun terpaksa urung
diselesaikan karena terkendala biaya.
“Saya sudah ajukan ke MURI beserta bukti-bukti atas pencapaian
mengalahkan Grand Master dan sudah disetujui. Tetapi untuk nebus piagam
dibutuhkan biaya administrasi. Karena keterbatasan biaya maka tidak bisa nebus
piagam itu,” tandas Eka. Piagam MURI yang tak tertebus adalah satu dari beragam
persoalan yang membayangi Eka dan sang istri dalam mendukung bakat sang anak.
Sejak menyadari adanya potensi besar dalam diri kakak dari Gelsi Aurelia
Savaira (6) ini, Eka dan Nina berjibaku mulai dari membimbing, mendampingi,
hingga mencarikan sponsor.
bersambung.....
sumber: ruang.gramedia.com
oleh : charles emanuel