Sabtu, 24 September 2016

MERAWAT HARAPAN ADITYA BAGUS ARFAN MENEMBUS DUNIA

Hujan baru saja berhenti. Hawa dingin yang datang bersama butir-butir hujan belum benar-benar pergi. Namun, semangat Eka Satya Prasaja (38) dan Nina (35) sudah langsung mendidih saat berkisah tentang sang buah hati, Aditya Bagus Arfan (9). Aditya baru akan menginjak usia 10 tahun pada 31 Oktober nanti, tetapi prestasinya di dunia catur sudah sampai ke tingkat internasional.

Perjalanan hidup putra pertama yang jauh dari ingar-bingar pemberitaan, seakan mendapat ruang pelampiasan ketika penulis bertandang ke kediaman mereka di Perum Pondok Sani, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada akhir Agustus lalu. Terlebih, Aditya baru saja pulang dari Rusia mengikuti Olimpiade Catur U-16. Saat kedua orang tuanya merayakan lebaran di Tanah Air, Aditya berjuang seorang diri dengan hanya ditemani ofisial dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI).

“Kami tidak bisa dampingi karena butuh dana sekitar Rp.50 juta buat ongkos,” tutur Eka yang berprofesi sebagai karyawan swasta.Tekad dan semangat Aditya akhirnya meyakinkan Eka dan sang istri untuk merelakannya berjuang sendiri. Perjalanan jauh Aditya pun tak sia-sia. Sebagai peserta termuda kehadirannya benar-benar mencuri perhatian.

“Sebelumnya kami berpikir bahwa perlombaan itu berdasarkan kategori usia. Ternyata tidak. Sehingga Aditya berhadapan dengan lawan-lawan yang rata-rata berusia 14 hingga 16 tahun,”ungkap Eka. Walau kembali tanpa gelar mengingat lawan-lawan yang dihadapi dari kelompok usia lebih tua, Eka mengaku sang anak mendapat banyak manfaat. Selain pengalaman dan mental bertanding, wawasan pergaulan Aditya juga semakin luas. Tampak di jejaring sosial instagram Eka, presiden FIDE (Federasi Catur Dunia), Kirzan Ilyumzhinov, dan presiden dari negara bagian Sakha, Mikhail Nikolaev, tengah serius memperhatikan Aditya bertanding.

Master ASEAN
Aditya bisa melanglang buana hingga ke Eropa Timur bukan tanpa sebab. Perjalanan ke Negeri Beruang Putih tak lepas dari prestasi yang ditorehkan di tingkat Asia Tenggara sebulan sebelumnya. Tampil di ASEAN +Age Chess Championships di Dusit Thani Pattaya, Thailand, Aditya sukses menyabet medali emas di kategori U-10. Ia mengalahkan 40 peserta yang berasal dari 13 negara, termasuk China, setelah bertarung sembilan babak.

Nina yang mendampingi Aditya mengaku deg-degan melihat sang anak berjuang babak demi babak. Pengalaman pertama bertanding di luar negeri, ditambah lagi harus berhadapan dengan lawan-lawan dari sejumlah negara, benar-benar menguras adrenalin wanita murah senyum itu.

Nina tahu bahwa perbedaan fisik bisa menjadi tantangan tersendiri. Melihat lawan-lawan dengan warna kulit berbeda dan berpostur lebih besar bisa membuat nyali Aditya ciut. Selain memberikan dukungan langsung, sebelum bertanding Nina tak lupa berpesan agar Aditya santai dan tak terbawa suasana. “Saya berpesan kepada dia untuk anggap pertandingan itu seperti main sama teman-teman atau sama gurunya. Tetapi saya ingatkan untuk tidak anggap remeh karena peserta yang datang itu bagus-bagus karena mewakili negara masing-masing,”tutur Nina.

Perjuangan Aditya selama kurang lebih sepuluh hari akhirnya berbuah medali emas. Bocah hitam manis yang kini duduk di kelas empat SD IT Global Insani, Bekasi itu mendulang 7.5 poin. Ia mengungguli Vo Pham Thien Phuc dari Vietnam yang mendapat 7.0 poin serta tiga pecatur Vietnam lainnya yang berada di lima besar. Tak hanya membawa pulang medali emas, Aditya juga berhak atas predikat ASEAN Master dari aseanchess.org.

Melengkapi kegemilangannya di Thailand, Aditya sukses melampaui rekor pecatur nomor satu Indonesia saat ini, GM Utut Adianto sebagai pecatur termuda yang sukses mengalahkan Grand Master (GM). Pada hari terakhir kejuaraan, dalam tajuk simultan catur, Aditya membungkam GM Eugene Torre yang merupakan Grand Master pertama ASEAN. Aditya adalah satu-satunya dari 30 peserta yang menumbangkan GM asal Filipina itu.

“Menurut informasi dari Kepala Bidang Bina Prestasi PB Percasi, Kristianus Liem saat itu Utut mengalahkan Grand Master pada usia 13 tahun sementara Aditya saat berusia 9 tahun,”terang Eka.
Eka pernah berusaha mencatatkan rekor sang anak ke Museum Rekor Indonesia (MURI). Proses sudah lewat separuh jalan, namun terpaksa urung diselesaikan karena terkendala biaya.

“Saya sudah ajukan ke MURI beserta bukti-bukti atas pencapaian mengalahkan Grand Master dan sudah disetujui. Tetapi untuk nebus piagam dibutuhkan biaya administrasi. Karena keterbatasan biaya maka tidak bisa nebus piagam itu,” tandas Eka. Piagam MURI yang tak tertebus adalah satu dari beragam persoalan yang membayangi Eka dan sang istri dalam mendukung bakat sang anak. Sejak menyadari adanya potensi besar dalam diri kakak dari Gelsi Aurelia Savaira (6) ini, Eka dan Nina berjibaku mulai dari membimbing, mendampingi, hingga mencarikan sponsor.

bersambung.....


sumber: ruang.gramedia.com
oleh     : charles emanuel